Thursday, February 19, 2009

Novel Syahadat Cinta by Taufiqurrahman Al-Azizy ( Buku Pertama Dari Trilogi "Makrifat Cinta"")

Sangat menggetarkan bertemu pemuda metropolis yang memiliki cinta dari sumber hati, bukan nafsu, mentafakuri perjalanan cintanya kepada sang Ilahi melalui wajah kekasih. Membaca novel ini membawa kita kepada pesona Islam yang tidak ekstrim. Sungguh, selalu ada keindahan di setiap lembarnya. - K.H Muchotob Hamzah, M.M, Wakil Rektor III Universitas Sains al-Quran (UNISIQ) Jateng dan pengasuh Ponpes Al-Asy’ariyyah Kalibeber Wonosobo

Saya jarang membaca novel sebab ia hanya bersifat fiksyen (rekaan) belaka, apalagi novel-novel popular. Tetapi, setelah membaca novel ini, anggapan tersebut hilang. Bagus sekali dan sayang untuk disudahkan. - Habib Muhsin al-Maulahela, pengamal spiritual di Banjarnegara

Ini kisah cinta dan agama. Keduanya bergolak di relung terdalam perasaan dan hati anak muda kota, dalam budaya dan tradisi yang terus bergerak dan kadang kala penuh ketegangan. Mencari cinta dan agama; menerusi novel ini, Taufiqurrahman al-Azizy mengolah gesekan-gesekan cinta dan pergolakan pemikiran Islam dengan latar pesantren (sekolah pondok) yang kian mempesona dalam sastera Indonesia yang mutakhir. - Jamal D.Rahman, Pemred Majalah Sastra Horison Jakarta


Mahukah kamu menciumku?”

Masya-Allah, kenapa?”

Sebab ciuman adalah bukti kewujudan cinta. Kamu terpikat kepadaku kerana wajah ini, maka dia meminta bibirku untuk kamu cium. Jika hati yang membawa cintamu kepadaku, maka kamu pun harus mencium hatiku. Pilih mana?”

***

Itulah petikan perbualan antara Iqbal, tokoh utama dalam novel ini, dan Zaenab, gadis yang merupakan perwujudan dari jamaliah Ilahi. Sebagai pemuda metropolis, Iqbal berjuang mengakhiri masa lalunya yang kelam, dan secercah cahaya Ilahi memasuki relung-relung hatinya, dan membawanya ke alam pesantren. Tetapi ternyata, perjalanan ini memunculkan amuk pergolakan di dalam hatinya. Baru sahaja dia mulai belajar berwuduk, membaca al-Quran dan bersembahyang, tetapi dia terpelanting ke lembah perdebatan, yang pada lahirnya memang dengan sahabat-sahabat senterinya, tetapi pada hakikatnya adalah antara Iqbal dengan dirinya sendiri. Baginya, hatilah yang perlu mendapat cahaya Islam, menerangi jiwa. Iqbal berusaha memasuki Islam melalui jalur hatinya, dan ternyata jalur itu membawa bersama benih-benih cinta kepada Zaenab, seorang santeriwati di pesantren itu. Tetapi, masih ada dua gadis lain sedang menunggu cintanya: Priscillia, seorang gadis dari keluarga Kristian yang taat dan mendapat berbagai kekerasan dari keluarga dan sahabat-sahabatnya kerana telah memilih memasuki hidayah Islam; sedang gadis yang seorang lagi adalah pelajar sebuah SMA yang dipaksa menikahi orang yang tidak dicintainya, bahkan tidak dikenalnya. Iqbal justeru banyak belajar tentang keagungan Islam dari sebuah keluarga pengemis yang menumpangkannya di teratak mereka ketika dia lari dari pesantren kerana perseteruan-perseteruan fahaman agama yang sangat tajam.

Novel spiritual ini menjadi kesaksian (syahadat) perjalanan cinta seorang anak kota dalam tempias wajah Ilahiyah yang sarat aroma spiritual dan pertarungan ragam tradisi.